Gelak tawa kami membawa ingatanku kembali pada dimensi waktu yang
berbeda. Setahun lalu tepatnya, triwulan pertama tahun 2020. Ditengah situasi pandemi yang menghantam seantero jagad ,
membuat seluruh sistem pada tatanan hidup yang sudah sedemikian rapih disusun
oleh manusia harus berubah drastis demi beradaptasi dengan serangan pandemik. Nyatanya, hidup harus tetap
berjalan, meskipun melambat. Begitu pula dengan sistem belajar dikampus. Semua
kegiatan terpaksa dilakukan secara daring hingga jarak tak lagi jadi kendala
berbagi ilmu. Sebagai salah satu mahasiswa perantau, aku tahu betul sistem ini
awalnya cukup membahagiakan. Bagaimana tidak, kami masih dapat menempuh
perkuliahan tanpa harus menanggung beban rindu akan kampung halaman. Tapi tidak
seperti beberapa teman perantau yang memilih pulang, aku memilih tetap bertahan di
kosan, melewati hari demi hari di kota besar yang kini tidak lagi ramai karena
pembatasan aktifitas berskala besar. Bukan tanpa alasan, aku hanya tidak ingin ada hal sekecil apapun
menghalangi langkahku wisuda tepat waktu.
Sekedar informasi, pandemik datang tepat saat kami memasuki medan
pertempuran untuk menyelesaikan thesis. Ya. Memang lebih mirip arena tempur.
Kehabisan amunisi, gelar taruhannya. Segala tugas dan nilai A pada Kartu Hasil Studi tidak
bisa dijadikan jaminan. Apalagi kwitansi-kwitansi registrasi lusuh yang tersimpan rapih
dalam map dokumen dibagian paling bawah rak buku. Ini bukan kali pertamaku terlibat dalam pertempuran
sejenis ini. Tentu saja, pertempuran pertama adalah saat membuat skripsi
beberapa tahun silam. Namun kali ini sedikit berbeda. Bukan hanya karena tingkatannya
yang lebih tinggi, akupun harus bertempur dengan perasaan ingin pulang kampung
yang berkecamuk sejak awal pandemik. Hampir semua temanku melakukannya,
bagaimana tidak tergiur?. Namun membayangkan harus membayar biaya registrasi
yang tetap tinggi tanpa pengurangan itu, membuatku terpaksa menelan rindu untuk
pulang. Belum lagi, pembimbing thesisku yang adalah seorang professor, menolak untuk memberikan bimbingan secara
online. Sebagai seorang yang sudah sepuh, sistem yang bergantung pada screentime yang tinggi tentu saja
sangat menyiksa baginya. Alhasil, situasi pandemik yang kian mencekam harus ku lewati
tanpa keluarga disisiku.
Beruntung bagiku. Tari, gadis manis asal Palembang, teman kelas
yang merangkap peran sebagai teman kos dan sahabatku, tentu saja, pun memilih tetap
berada di Semarang. Situasi dan visi yang sama, membuat dua mahasiswi perantau
ini seakan punya bekal amunisi yang
cukup besar untuk maju tempur. Masih jelas diingatan ketika "ruang
tamu" dikosan menjadi tempat menghabiskan waktu, demi menatap layar
mengejar deadline revisian yang kami tentukan sendiri. Tentu saja, karena tak
ada kasur disana. Konon katanya, gaya gravitasi dikasur sangat tinggi, sehingga
banyak pekerjaan harus tertunda demi aktifitas rebahan yang tanpa faedah. Tanpa banyak percakapan berarti, kami tenggelam
dalam tulisan dilayar laptop masing-masing. Gelas besar berisi ampas kopi seperti
menjadi saksi bulatnya tekad kami memenangkan pertempuran ini tepat waktu, "jangan
sampai kalah hanya karena rasa kantuk". Hingga rasa lelah menghambat laju
kami, membuat lantai yang hanya dialasi karpet tipis terlihat bak kasur empuk
untuk berbaring. Namun entah mengapa, disaat-saat seperti itu, tidur terasa seperti
dosa. Perasaan bersalah akan muncul ketika terlalu banyak menghabiskan waktu untuk sejenak
beristirahat.
Meskipun fisik terasa sangat lelah, semangat kami masih sangat
menbara. Masih kuingat ketika kami harus mengunjungi apotik untuk sebuah alasan
yang "sedikit gila" jika dibayangkan lagi. Mencari pil anti tidur.
Ya. Se-nekad itu. Ide itu datang dari Tari, yang
anehnya disambut hangat olehku. Untungnya
apotik tidak menyediakan obat semacam itu untuk dijual bebas, jadilah kami
kembali bergelut dengan kopi yang lama kelamaan tidak lagi ampuh menahan rasa
kantuk karena tubuh sudah terlalu lelah. Namun percayalah, kami tidak pernah
habis akal. Minggu demi minggu berlalu membuat ruang tamu tanpa kasur dan kopi
mulai hilang kesaktian. Rasa malas yang sekuat tenaga dihindari kini mulai
menghantui. Kami putuskan untuk mengganti "lokasi tempur".
Entah bagaimana ceritanya, kami menemukan sebuah cafe yang rasanya
cukup menunjang misi kami. Full wifi, suhu ruangan yang dingin dan harga menu ramah dikantong,
tentu saja. Satu lagi, kamipun boleh bawa bekal sendiri. Dua poin terakhir ini boleh jadi terkesan lawak, tapi percayalah, itulah alasan utama kami akhirnya menjatuhkan pilihan pada cafe "Teman Kerja". Ya, sesuai namanya, cafe
ini menjadi teman kerja sekaligus saksi bisu kerasnya pertempuran kami
menyelesaikan tugas akhir. Rutinitas yang terus berlanjut minggu demi minggu.
Bangun pagi jam 6, stretching badan sebentar, mulai masak untuk menyiapkan
bekal, lalu bersiap-siap. Jam 10 teng, biasanya kami sudah ready didepan kos, rapih dan kenyang, membawa tas punggung berisi
laptop sambil meneteng totebag berisi
bekal dan keperluan lain. Tidak hanya perut dan tas yang penuh, semangat
kamipun penuh. Sepenuh apa? Tentu saja melebihi semangat orang-orang lain,
setidaknya pengunjung lainnya di cafe teman kerja. Bagaimana bisa begitu yakin?
Ya. Kami pengunjung pertama cafe Teman kerja dan pengunjung
terakhir yang pulang. Tentu saja kami akan tiba di cafe jam 10an pagi, ketika
orang-orang baru akan pergi nongkrong setelah jam makan siang.
Cafe ini memang nyaman untuk berkumpul hingga tidak pernah sepi
pengunjung. Dekorasi indoor yang nyaman, sofa empuk, AC yang membuat ruangan selalu terasa dingin hingga rasa kantuk
tidak lagi menjadi musuh utama, dan steker listrik yang sangat memadai. Kurang apa coba, tentu saja bikin betah!. Sekat kaca yang membatasi ruangan dengan bagian outdoor membuat pemandangan tidak terhalang jika
sewaktu-waktu ingin melempar pandangan keluar ruangan untuk
sekedar menemukan insipirasi. Ditemani segelas kopi susu extra caramel atau
extra hazelnut andalan kami, otak dan jemari mulai berpacu diatas keyboard, menghasilkan paragraf
demi paragraf, sambil sesekali melafalkan kembali untuk sekedar
memastikan pilihan diksi sudah tepat. Sekilas terlihat seperti sedang mengucap
mantra. Ruangan terasa sepi dan tenang, kecuali bunyi ketikan dan sesekali suara kendaraan
yang berlalu lalang.
Saat ketikan melambat, otak mulai lemot karena lelah berpikir,
perutpun kompak mengeluarkan bunyi khasnya, disaat inilah kami mulai bergerak
mengeluarkan bekal yang tersimpan manis dalam totebag. Terkadang rasa bersalah muncul ketika menyadari wangi
makanan kami perlahan menjalari seisi ruangan_Cafe ini, sayangnya tidak
menyediakan menu makanan pada waktu itu, selain menu
keripik kentang dan sejenis chips yang tentu saja tidak bikin kenyang_Namun
perasaan bersalah ini akan hilang segera setelah kami
menyadari bahwa pengunjung lain sepertinya tidak begitu peduli. Seperti
sepasang kekasih dimeja sebelah yang tampak serius ngobrol ditemani cappucino ice.
Menikmati bekal masakan sendiri sambil sesekali bertukar menu
menjadi salah satu part yang membahagiakan. Rasanya seperti mengisi bahan bakar
kendaraan yang sudah "ketap ketip" karena
perjalanan jauh. Lalu setelah sendok terakhir mendarat sukses di mulut, aku dan
Tari mulai akan berunding, tentang giliran siapa
yang akan mengambil free air putih.
Sejujurnya ketika menceritakan bagian ini, aku tidak sanggup menahan tawa. Ya.
Selain semua kelebihan yang sudah kusebutkan diawal, fakta bahwa cafe ini juga
menyediakan free air putih dan
menolak menerima bayaran untuk air putih, membuat kami tak mampu berpindah
kelain cafe. Biasanya kami akan malu-malu ketika menghampiri pelayan untuk
meminta free air putih, namun tetap sempat memesan tambahan es batu. Sungguh
lawak. Lalu kamipun akan kembali tenggelam dengan huruf dan angka dibalik layar
laptop masing-masing, dengan gelas kopi yang perlahan akan menyisakan kepingan
es batu. Jika belum terlalu larut sedangkan otak masih penuh dengan ide dan
kopi mulai habis, kami akan berunding untuk memutuskan, perlukah membeli lagi 2 kopi porsi biasa, atau cukup 1 kopi porsi large.
Tentu saja akan menyesuaikan dengan sisa waktu kunjungan.
Aktifitas kami baru berhenti ketika lampu-lampu cafe mulai
dimatikan, dan pelayan mulai membereskan kursi-kursi yang berserakan
diluar. Sebuah gesture yang kami
sebut "mengusir secara halus". Barangkali si pelayan sedang berusaha
bersikap sopan terhadap "pengunjung tetapnya" dengan menahan diri
dari mengeluarkan kalimat seperti ; mohon maaf, silahkan pulang, cafenya sudah
harus tutup". Saat itu, biasanya jarum jam sudah menunjukkan pukul 12an
malam. Lalu kami akan mulai berkemas, mencabut kabel charger, menyusun kembali kotak bekal yang kosong, membereskan
sisa-sisa kopi di meja lalu segera beranjak membawa tas punggung dan totebag menuju parkiran motor. Tidak
perlu kawatir akan masuk angin, karena udara malam dan terkadang gerimis kecil
sudah jadi teman kami. Tubuh yang letih dan draft tesis yang sudah semakin
berisi selalu menjadi obat tidur paling ampuh. Pertempuran memang belum
berakhir, tapi setidaknya kami bergerak maju.
"Eh kak, tapi katanya sudah nggak ada free air minum lagi loh sekarang" suara diseberang sana mengembalikanku ke menit ini.
"Oh , ya? How lukcy we are!" Kataku sambil tertawa.
"Exactly!" Tari membalas, sembari ikut tertawa lepas.
Obrolan kami masih berlanjut, hingga akhirnya harus kembali
pada rutinitas masing-masing. Sepotong kisah tentang tugas akhir, tidak hanya
menghadiahkanku sebuah surat berharga, namun juga banyak pelajaran berharga.
Banyak cerita yang bisa kubagi. Tapi percayalah, kamu akan rugi jika tidak
melewatinya sendiri. Satu hal yang pasti, siapkan amunisi dan berperanglah !
Yang kuasa tidak akan membiarkanmu berjuang sendiri. Dalam ceritaku, Tari dan
"teman kerja", mungkin adalah bukti semesta ikut mendukung saat aku
mulai berjuang dengan tekun dan tulus.
Selamat Berjuang!
Semarang, 2021.
Komentar
Posting Komentar