Langsung ke konten utama

Jangan jadi bagian "Generasi Menunduk".

“Karena sungguh, di era generasi millenial ini, mencari teman ngobrol yang lebih seru dari gadget itu lumayan susah"

Seringkali kita kehabisan bahan ngobrol dan pelariannya adalah gadget di tangan. Banyak sekali istilah yang dijadikan kiasan kondisi generasi millenial, salah satu yang cukup populer adalah “generasi menunduk”. Ketika itu terjadi dalam sebuah lingkaran muda-mudi yang seharusnya ada interaksi seru satu sama lain, tapi malah sibuk dengan gadgetnya masing-masing, yang terjadi adalah  “Ngacangin dan dikacangin”, inilah asal muasal istilah “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Mirisnya, pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa saking seringnya kita temukan. Bahkan mungkin pernah kita alami sendiri. 

Barangkali salah satu hal yang melatarbelakangi tingkah laku seperti ini adalah ketiadaan kemampuan menempatkan prioritas dalam mencari informasi. Ketika kita terlena dengan gadget, sadar atau tidak, kita sedang terlena dengan sebuah dunia lain yang sering dikenal sebagai “dunia maya” karena disana disajikan berbagai informasi menarik yang lebih instan diperoleh daripada di dunia nyata. Informasi itu bisa saja tentang selebriti idola kita, tentang informasi politik terkini, tentang gaya liburan anak muda masa kini, bahkan informasi tentang kehidupan mantan pacar yang belum sanggup kita lupakan. Dunia maya memang menyajikan berbagai informasi apa saja, dimana saja, bahkan dari berbagai zona waktu (masa lalu, masa kini dan masa depan). Terlalu menarik memang, saking menariknya dia bahkan mengalihkan perhatian kita dari dunia nyata disekeliling kita. Kita bahkan lupa, seperti terhipnotis, untuk sekedar menyadari bahwa kita bisa mengakses berbagai informasi itu kapan saja dan dimana saja. Ketika insomnia tengah malam, ketika sedang BAB di kamar mandi, ketika bosan mengerjakan tugas, kita selalu punya pilihan kapan waktu yang tepat untuk menggunakan gadget, mencaritahu tentang hal-hal yang menarik bagi kita di dunia maya. Waktu yang tepat tanpa mengganggu interaksi kita dengan manusia lain, sesuatu yang tidak selalu bisa kita lakukan. 

Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, entah itu teman kerja, teman hang-out, pacar, orangtua ataupun keluarga, kita tidak hanya memperoleh informasi baru, kita juga secara tidak sengaja meningkatkan kemampuan berinteraksi kita. Seni berintekasi bukan sesuatu yang diajarkan disekolah, tetapi sesuatu yang diperoleh dari pengalaman kita berinteraksi dengan orang lain tanpa memandang batasan usia. Seperti kata orang bijak “learning by doing”. Selain itu, keuntungan lainnya dari berinteraksi dengan orang lain adalah meningkatkan kepekaan kita dengan orang lain. Ini melibatkan perasaan dan kemampuan berpikir kita ketika kita terlibat interaksi yang dalam dengan orang lain tentang suatu masalah serius, yang membuat kita mau tidak mau berada di posisi menjadi pendengar yang baik agar bisa memberi saran terbaik. Dan tahukah kamu, seorang pendengar yang baik adalah seseorang yang paling disenangi sebagai teman ngobrol. Sudah tentu, banyak hal positif yang bisa di dapat dengan menjadi orang yang seru di ajak ngobrol.

Akan tetapi, kita sering terjebak untuk interaksi dengan gadget malah di saat berkumpul bersama orang lain. Hal ini tentu saja, sangat mengganggu bahkan menghalangi kita untuk bisa mnejalin interaksi dengan orang disekitar kita. Secara otomatis, kita tidak bisa berkonsenrasi saat ada yang berbicara dengan kita karena perhatian kita terlanjur terbagi dengan gadget. Hal ini tentu saja membuat orang lain tidak senang menjadikan kita sebagai teman ngobrol atau lawan bicara. Padahal, momen berkumpul dan saling berinteraksi adalah sebuah momen yang tidak selalu ada, lantaran kesibukan masing-masing sehingga kita ketiadaan waktu untuk berkumpul. Ketika waktu itu datang, dan kita akhirnya memiliki jeda untuk sekedar berkumpul, berinteraksi dan berbagi cerita, sangat disayangkan jika momen itu malah dilewatkan. Apalagi, hanya karena gadget. Sungguh miris. 

Akan tetapi, berita baiknya adalah kita bisa memulainya. Yup, memulai menciptakan suasana interaksi yang asik tanpa gadget. Jika kamu terlanjur terjebak dalam lingkungan orang-orang yang gampang terbius untuk menggunakan gadget disegala tempat, hal pertama yang harus kamu lakukan sudah pasti jangan ikut-ikutan menggunakan gadget. Nah, tantangan selanjutnya adalah bagaimana memunculkan topik yang menarik perhatian teman sekitarmu untuk diajak ngobrol. Jika topikmu cukup menarik, maka biasanya teman yang lainpun akan langsung ikutan nimbrung memberi tanggapan. Secara otomatis obrolan akan mulai tercipta. Namun jika ternyata topikmu hanya menarik perhatian satu atau dua orang saja dari teman-teman disekitarmu, barangkali secara sengaja kamu bisa mencoba meminta tanggapan pada yang lain sehingga melibatkan mereka pada obrolan kalian. Hal ini tentu saja membutuhkan kreatifitas bagaimana menarik perhatian teman sekitar agar tidak terfokus pada gadget. Jelas, inipun merupakan momen berlatih dan meningkatkan kemampuanmu dalam berinteraksi. 

Pada akhirnya, perlu kita pahami bahwa untuk memulai sesuatu tentu membutuhkan pengorbanan. Tidak hanya berkorban niat dan ide, kadang kita malah menuai gelar “sok asik”. Ini tidak selalu terjadi, tapi kemungkinan akan selalu ada. Namun yang perlu teman-teman ketahui adalah tidak ada ruginya memulai perbincangan. Banyak hal baru dan seru dari hasil interaksi dengan manusia daripada gadget. Memang, tidaklah salah selalu up-to-date dengan segala informasi yang disajikan di dunia maya, tapi prioritas kita akan waktu yang tepat untuk berinteraksi dengan orang ataupun gadget sangatlah penting. Manusia sesungguhnya adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi. Perkembangan teknologi tidak seharusnya mengkerdilkan kemampuan kita untuk berinteraksi dengan sesama. Berinteraksi tidak hanya membuat suasana jadi lebih menyenangkan, tapi secara personal dapat meningkatkan kepekaan kita terhadap lingkungan sekitar kita. Mari berinteraksi.
Sekian.

Welresna R.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPI : Friend or Foe?

KOPI  Friend or Foe? Minuman satu ini memang sangat populer. Saking populer sampai ada filosofinya. Sayang, kopi sering di”cap” negatif atas kandungan kafein didalamnya. Sebenarnya, seberapa bahayakah kafein itu? Untuk menjawabnya, Journal Review in Advance, 2016 memaparkan hasil diskusi International Life Sciences Institute (ILSI) Cabang Amerika Utara yang bertema : "Kafein: Teman atau Musuh ? . Berikut beberapa fakta tentang kafein : Ø   Metabolisme kafein tiap orang berbeda dikarenakan perbedaan genetik yang mempengaruhi praktik konsumsi seperti rasa dan titrasi diri, dan risiko penyakit. Ø   Orang dengan metabolisme lambat memiliki peningkatan risiko terkait penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD), sedangkan orang dengan metabolisme cepat kafein dapat terlindung dari risiko CVD oleh antioksidan dalam kopi. Ø   Konsumsi kafein jika disertai dengan kebiasaan merokok beresiko lebih tinggi terhadap CVD. Ø   Konsumsi kafein pada 180-200 mg/hari dapat membe

Pulang

Untuk tebal kabut dari subuh ke pagi Yang bertahan lebih lama saat kemarau lewat untuk embun yang menempel di kaca jendela dan teh panas yang segera menghangat dalam detik aku pasti pulang menemuimu yang dingin dikening namun hangat dikenang E. R

TEMAN KERJA

    Gelak tawa kami membawa ingatanku kembali pada dimensi waktu yang berbeda. Setahun lalu tepatnya, triwulan pertama tahun 2020 . Ditengah situasi pandemi yang menghantam seantero jagad , membuat seluruh sistem pada tatanan hidup yang sudah sedemikian rapih disusun oleh manusia harus berubah drastis demi beradaptasi dengan serangan pandemi k . Nyatanya, h idup harus tetap berjalan, meskipun melambat. Begitu pula dengan sistem belajar dikampus. Semua kegiatan terpaksa dilakukan secara daring hingga jarak tak lagi jadi kendala berbagi ilmu. Sebagai salah satu mahasiswa perantau, aku tahu betul sistem ini awalnya cukup membahagiakan. Bagaimana tidak, kami masih dapat menempuh perkuliahan tanpa harus menanggung beban rindu akan kampung halaman. Tapi tidak seperti beberapa teman perantau yang memilih pulang, aku memilih tetap bertahan di kosan, melewati hari demi hari di kota besar yang kini tidak lagi ramai karena pembatasan aktifitas berskala besar. Bukan tanpa alasan,  aku hanya