Langsung ke konten utama

Jangan anggap remeh "The Power of Plastic"

“Kita adalah generasi pertama yang merasakan efek dari perubahan iklim, dan generasi terakhir yang bisa berbuat sesuatu terhadap hal itu” (Barrack Obama, 2015)

Beberapa tahun belakangan, dunia sedang gencar-gencarnya menyuarakan tentang berbagai gerakan peduli lingkungan. Salah satu yang cukup populer adalah gerakan mengurangi penggunaan plastik. Berbagai slogan seperti ; Diet Plastic, atau Save Our Earth, ramai dikumandangkan. Dimana-mana mulai muncul organisasi-organisasi maupun aktifis-aktifis peduli lingkungan. 

Hal ini cukup memicu ketertarikan saya mengamati lebih jauh perbandingannya dengan perilaku penggunaan plastik dibeberapa tempat yang saya temui. Bukan hal baru dan luar biasa jika suatu sore saat berjalan-jalan keliling kompleks dan kita menemukan sampah plastik bertebaran tidak jauh dari tempat sampah. Miris memang. Ketika bertemu kondisi seperti ini, hal pertama yang terlintas di kepala adalah betapa rendahnya kesadaran “membuang sampah pada tempatnya”. Si penyampah bahkan tidak harus melakukan “effort” yang besar untuk sekedar mengayunkan beberapa langkah menuju kotak sampah. Kesadaran penggunaan plastik masyarakat kita memang masih tergolong rendah. Dalam Nature Communications Journal (2017), Indonesia menempati peringkat kedua setelah China sebagai penyumbang sampah plastik, termasuk di laut. Diperkirakan terdapat 1,15jt-2,14jt ton plastik dibuang ke lautan melalui aliran sungai.

Keadaan ini pada akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan, sebahaya apakah plastik sehingga orang-orang tampaknya begitu panik? dan sejauh mana efek yang sudah ditimbulkan sehingga kitapun perlu terlibat dalam gerakan mengurangi penggunaan plastik? 

Menyikapi bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan plastik, berbagai penelitian telah dilakukan. Sebuah penelitian di jurnal PLOS ONE (2018) menyatakan plastik turut memiliki andil yang besar dalam hal pemanasan global. Hal ini karena plastik mengeluarkan gas metana dan etilena saat terkena sinar matahari dan rusak. Gas metana baik alami maupun buatan diketahui sebagai penyebab utama perubahan iklim. Selain itu, peneliti dari University of Hawaii di Manoa School of Ocean Earth Science and Technology (SOEST) melakukan tes pada berbagai produk plastik dan menemukan bahwa gas metana disebabkan karena degradasi plastik dilingkungan dan memicu gas rumah kaca. Seperti kita ketahui, gas rumah kaca secara langsung mempengaruhi perubahan iklim ,permukaan suhu global, kesehatan ekosistem darat maupun laut (karena sifatnya yang sulit terurai), meningkatkan banjir, kekeringan, badai dan erosi.

Dibeberapa kesempatan, saya suka mengobrol dengan orang yang lebih tua. Topik yang biasanya tidak lepas dari obrolan adalah betapa pesatnya perubahan geografis dan iklim dari zaman mereka dibandingkan sekarang ini. Ibu pernah bercerita, tentang bagaimana kondisi di kampungnya dahulu, sebuah desa di pedalaman Timor Tengah Selatan yang terkenal dengan udara dingin.  Sebuah kalimat yang sering terucap dan masih saya ingat adalah “udaranya sudah tidak sedingin dulu” atau “dulunya bulan-bulan begini hujan sudah mulai turun”. Dan beberapa kalimat “perbandingan” lainnya. 

Meskipun tampaknya klise, kalimat-kalimat tersebut sesungguhnya adalah kesaksian tentang perubahan yang nyata terhadap iklim kita, yang sadar atau tidak sadar merupakan salah satu dari sekian banyak efek penggunaan plastik. Dibeberapa kota kecil, orang belum begitu aware terhadap penggunaan plastik mengingat dampak yang ditimbulkan baru sebatas “sudah tidak sedingin dulu” atau “harusnya bulan ini sudah turun hujan” dan beberapa “efek ringan” lainnya. 

Dikota-kota besar dengan penggunaan plastik yang lebih banyak, efek yang lebih nyata dari sekedar perubahan iklim adalah terganggunya kehidupan makhluk hidup lain. Kita mungkin masih ingat kejadian pada  November 2018 lalu, penemuan seekor paus raksasa yang mati terdampar di Taman Nasinal Wakatobi, Sulawesi Tenggara akibat menelan kurang lebih 5,9 kg sampah plastik beraneka jenis, mulai dari plastik keras, kantong plastik, sendal jepit bahkan tali rafia. 

Kondisi diatas sudah seharusnya menjadi “Warning” bagi kita untuk mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Akan lebih bijak jika kita tidak “terlambat sadar”. Jangan sampai alam yang masih kita rasakan “indah” ini hanya akan jadi cerita untuk anak dan cucu kita. Tanpa harus terlibat dengan organisasi peduli lingkungan, kita bisa memulai dari diri sendiri. Buang sampah pada tempatnya, kurangi penggunaan sedotan plastik, kantong plastik dan berbagai jenis plastik sekali pakai. Manfaatkan keranjang belanja saat berbelanja dipasar.

Karena bumi hanya ada 1, mari bersama menjaga bumi kita dari bahaya sampah plastik. 

Friendly reminder : There is no Planet B!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPI : Friend or Foe?

KOPI  Friend or Foe? Minuman satu ini memang sangat populer. Saking populer sampai ada filosofinya. Sayang, kopi sering di”cap” negatif atas kandungan kafein didalamnya. Sebenarnya, seberapa bahayakah kafein itu? Untuk menjawabnya, Journal Review in Advance, 2016 memaparkan hasil diskusi International Life Sciences Institute (ILSI) Cabang Amerika Utara yang bertema : "Kafein: Teman atau Musuh ? . Berikut beberapa fakta tentang kafein : Ø   Metabolisme kafein tiap orang berbeda dikarenakan perbedaan genetik yang mempengaruhi praktik konsumsi seperti rasa dan titrasi diri, dan risiko penyakit. Ø   Orang dengan metabolisme lambat memiliki peningkatan risiko terkait penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD), sedangkan orang dengan metabolisme cepat kafein dapat terlindung dari risiko CVD oleh antioksidan dalam kopi. Ø   Konsumsi kafein jika disertai dengan kebiasaan merokok beresiko lebih tinggi terhadap CVD. Ø   Konsumsi kafein pada 180-200 mg/hari dapat membe

Pulang

Untuk tebal kabut dari subuh ke pagi Yang bertahan lebih lama saat kemarau lewat untuk embun yang menempel di kaca jendela dan teh panas yang segera menghangat dalam detik aku pasti pulang menemuimu yang dingin dikening namun hangat dikenang E. R

TEMAN KERJA

    Gelak tawa kami membawa ingatanku kembali pada dimensi waktu yang berbeda. Setahun lalu tepatnya, triwulan pertama tahun 2020 . Ditengah situasi pandemi yang menghantam seantero jagad , membuat seluruh sistem pada tatanan hidup yang sudah sedemikian rapih disusun oleh manusia harus berubah drastis demi beradaptasi dengan serangan pandemi k . Nyatanya, h idup harus tetap berjalan, meskipun melambat. Begitu pula dengan sistem belajar dikampus. Semua kegiatan terpaksa dilakukan secara daring hingga jarak tak lagi jadi kendala berbagi ilmu. Sebagai salah satu mahasiswa perantau, aku tahu betul sistem ini awalnya cukup membahagiakan. Bagaimana tidak, kami masih dapat menempuh perkuliahan tanpa harus menanggung beban rindu akan kampung halaman. Tapi tidak seperti beberapa teman perantau yang memilih pulang, aku memilih tetap bertahan di kosan, melewati hari demi hari di kota besar yang kini tidak lagi ramai karena pembatasan aktifitas berskala besar. Bukan tanpa alasan,  aku hanya