Langsung ke konten utama

Investasi diri dari waktu senggang

“Loe sih enak, dari lahir bakatnya udah ada. Lah gua? Kalo ditanya bakatnya apa ya cuma makan”

Candaan kecil seperti ini sering dilontarkan mereka yang merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa yang bisa dibanggakan. Alih-alih sekedar candaan, candaan seperti malah dijadikan tameng untuk nyaman pada keadaan tidak ada upaya pengembangan diri, padahal sejatinya tidak ada ketrampilan yang lahir tanpa melewati rentetan latihan dan kegagalan. Pada kenyataannya, dua orang bisa lahir pada waktu yang bersamaan. 25 tahun kemudian, salah satunya menjalani kehidupan yang sangat bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitarnya sedangkan yang  satunya masih tertatih dalam upaya untuk mandiri. Ini bukan soal keberuntungan karena  keberuntungan sesungguhnya adalah kata lain dari kerja keras.  Ini tentang kesadaran sejak dini dalam memanfaatkan waktu untuk berinvestasi pada diri sendiri. Dengan investasi diri yang mumpuni, orang akan lebih siap menjemput kesempatan dan menciptakan peluang. 

Kita sama-sama tahu setiap manusia terlahir kedunia tanpa dibekali keahlian khusus, tetapi dikaruniai akal budi dan pengetahuan yang dapat dipakai untuk berinvestasi pada dirinya sendiri yaitu dengan mengembangkan kemampuan diri yang lebih dikenal sebagai bakat atau ketrampilan. Akan tetapi, kita seringkali melewatkan kesempatan untuk berinvestasi diri. Banyak alasan yang dipakai, mulai dari ketiadaan modal hingga ketiadaan waktu. Padahal jika kita telisik lebih jauh sesungguhnya pengorbanan yang perlu dilakukan untuk memiliki ketrampilan tertentu hanyalah sejauh niat. Kedengarannya mudah tapi tidak semudah itu. Niat perlu ditopang dengan konsistensi dan kemauan untuk terus berlatih. Jika sudah ada niat, sesibuk apapun kita akan mampu meluangkan waktu untuk mengembangkan ketrampilan tertentu dalam diri. 

Di dunia yang semakin berkembang ini , tentu semakin banyak pilihan ketrampilan yang bisa kita jadikan fokus. Sebut saja ketrampilan berbahasa asing, fotografi, mempelajari teknologi, menulis dan lain sebagainya. Tanpa perlu mengikuti kursus, cobalah menyisihkan 30 menit di waktu senggang kita setiap hari untuk belajar ketrampilan ini. Bayangkan seminggu atau sebulan kemudian barangkali kita sudah cukup fasih. Pepatah lama yang mengatakan “Practise make perfect” sesungguhnya bukanlah sebuah pemanis kata-kata belaka. Dibanding membayar mahal untuk mengikuti kursus 3 hari seminggu, praktik 30 menit sehari sesungguhnya lebih efektif. Layaknya hubungan antar manusia, kita jelas akan lebih mengenal teman yang sering bertemu dibanding yang jarang bertemu. Mari kita lihat, apakah sesulit itu menyisihkan waktu untuk berlatih suatu ketrampilan minimal 30 menit sehari. 

Saya tidak sedang menyuarakan tentang manajemen waktu, hanya sekedar mengajak kita melihat lebih jauh, seefektif apa kita sudah memanfaatkan waktu senggang bagi diri kita sendiri. Agar tidak mudah bagi kita mengkambinghitamkan kesibukan sebagai penyebab kita kehilangan kesempatan berinvestasi diri. Jika kalian adalah anak kuliahan atau pekerja kantoran atau apapun pekerjaan yang sedang digeluti, mari sama-sama berefleksi, berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk melakukan aktifitas utama kita? Umumnya, paling tinggi mencapai 10 jam. Jika dikurangi waktu istirahat yang dianjurkan untuk kesehatan 8 jam, maka kita masih punya sisa waktu 6 jam. Waktu yang berlimpah ruah untuk kita manfaatkan. Jangan terlalu pelit dengan diri sendiri dalam hal menyisihkan waktu untuk investasi diri. 30 menit dari 6 jam tersisa sesungguhnya tidaklah terlalu berlebihan. 

Mari lebih bijak menggunakan waktu. Jika terlanjur kita menyiakan waktu senggang di hari kemarin, sesungguhnya tidaklah terlambat memulai dari sekarang. Cobalah berpikir ketrampilan apa yang ingin kita pelajari. Niatkan, lalu lakukan. Konsistenlah setidaknya sebulan, lalu coba evaluasi kembali apa manfaatnya bagi diri kita. Tidak ada yang salah dengan belajar hal baru. Jikapun hal baru itu belum bermanfaat sekarang, anggaplah itu adalah bagian dari investasi diri. Semakin banyak ketrampilan kita pelajari, semakin berguna diri kita. Dan yang paling penting, kita jadi semakin bijak memanfaatkan waktu senggang.

Salam

Welresna R.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPI : Friend or Foe?

KOPI  Friend or Foe? Minuman satu ini memang sangat populer. Saking populer sampai ada filosofinya. Sayang, kopi sering di”cap” negatif atas kandungan kafein didalamnya. Sebenarnya, seberapa bahayakah kafein itu? Untuk menjawabnya, Journal Review in Advance, 2016 memaparkan hasil diskusi International Life Sciences Institute (ILSI) Cabang Amerika Utara yang bertema : "Kafein: Teman atau Musuh ? . Berikut beberapa fakta tentang kafein : Ø   Metabolisme kafein tiap orang berbeda dikarenakan perbedaan genetik yang mempengaruhi praktik konsumsi seperti rasa dan titrasi diri, dan risiko penyakit. Ø   Orang dengan metabolisme lambat memiliki peningkatan risiko terkait penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD), sedangkan orang dengan metabolisme cepat kafein dapat terlindung dari risiko CVD oleh antioksidan dalam kopi. Ø   Konsumsi kafein jika disertai dengan kebiasaan merokok beresiko lebih tinggi terhadap CVD. Ø   Konsumsi kafein pada 180-200 mg/hari dapat membe

Pulang

Untuk tebal kabut dari subuh ke pagi Yang bertahan lebih lama saat kemarau lewat untuk embun yang menempel di kaca jendela dan teh panas yang segera menghangat dalam detik aku pasti pulang menemuimu yang dingin dikening namun hangat dikenang E. R

TEMAN KERJA

    Gelak tawa kami membawa ingatanku kembali pada dimensi waktu yang berbeda. Setahun lalu tepatnya, triwulan pertama tahun 2020 . Ditengah situasi pandemi yang menghantam seantero jagad , membuat seluruh sistem pada tatanan hidup yang sudah sedemikian rapih disusun oleh manusia harus berubah drastis demi beradaptasi dengan serangan pandemi k . Nyatanya, h idup harus tetap berjalan, meskipun melambat. Begitu pula dengan sistem belajar dikampus. Semua kegiatan terpaksa dilakukan secara daring hingga jarak tak lagi jadi kendala berbagi ilmu. Sebagai salah satu mahasiswa perantau, aku tahu betul sistem ini awalnya cukup membahagiakan. Bagaimana tidak, kami masih dapat menempuh perkuliahan tanpa harus menanggung beban rindu akan kampung halaman. Tapi tidak seperti beberapa teman perantau yang memilih pulang, aku memilih tetap bertahan di kosan, melewati hari demi hari di kota besar yang kini tidak lagi ramai karena pembatasan aktifitas berskala besar. Bukan tanpa alasan,  aku hanya